Rabu, 24 Maret 2010

MATERI MBS

PENDAHULUAN
BAB
I
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan
satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal,
peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan
alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana
pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun
demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan
peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota,
menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup
menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa
yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita? Dari berbagai
pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan
mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan education production function atau inputoutput
analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan
ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat
produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang
diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan
menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap
bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku
dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan
lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan
2 Konsep dan Pelaksanaan
terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak
terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan
education production function terlalu memusatkan pada input
pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara
birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi
yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang
kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah
setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi
diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan,
motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan
lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu
tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru dan peranserta
masyarakat khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraan
pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam
pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya
perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan
pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi
perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada
umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan
lain seperti pemikiran, moral, dan barang/jasa kurang diperhatikan.
Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak
mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan
pendidikan kepada masyarakat, khususnya orangtua siswa, sebagai
salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan
(stakeholder).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu
dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan
reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen
peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 3
B. Pengertian
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
(MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong
partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundangundangan
yang berlaku (Catatan: MPMBS tidak dibenarkan
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan
yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih
mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam
mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai
dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Demikian juga, dengan partisipasi/pelibatan warga sekolah dan
masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa
memiliki mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan
rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggungjawab,
dan peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatan dedikasi warga
sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi
warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan. Baik peningkatan
otonomi sekolah, fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah
maupun partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan sekolah tersebut kesemuanya ditujukan untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS).
Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah
(efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, dan pemerataan
serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada
peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu
4 Konsep dan Pelaksanaan
pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga
memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS
lebih ditekankan dari pada MBS untuk saat ini. Pada saatnya nanti
MPMBS akan menjadi MBS.
C. Tujuan
MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian
fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola
sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan
masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya,
MPMBS bertujuan untuk:
? meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan
kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama,
akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam
mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya
yang tersedia;
? meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama;
? meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua,
masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
? meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu
pendidikan yang akan dicapai.
D. Alasan Diterapkannya MPMBS
MPMBS diterapkan karena beberapa alasan berikut:
? Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah,
maka sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan
mutu sekolah.
? Dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan-keluwesan yang
lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya,
maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan
dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk
meningkatkan mutu sekolah.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 5
? Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya;
? Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya
input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan
dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kebutuhan peserta didik;
? Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok
untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang
paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;
? Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif
bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat;
? Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam
pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan
demokrasi yang sehat.
? Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan
masing-masing kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan
masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya
semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran
mutu pendidikan yang telah direncanakan;
? Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolahsekolah
lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upayaupaya
inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik,
masyarakat, dan pemerintah daerah setempat; dan
? Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan
lingkungan yang berubah dengan cepat.
6 Konsep dan Pelaksanaan
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 7
KONSEP DASAR
BAB
II
A. Pengertian Mutu Pendidikan
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh
dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam
memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan
output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud
berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai
pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi
sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP,
karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan,
uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi
sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana,
program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan
sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat
diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu,
tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input.
Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input
tersebut.
Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu
yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses
disebut input, sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam
pendidikan bersekala mikro (tingkat sekolah), proses yang dimaksud
adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan
kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar,
8 Konsep dan Pelaksanaan
dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses
belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan
dengan proses-proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan
penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum,
uang, peralatan, dsb.) dilakukan secara harmonis, sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benarbenar
mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan
mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai
pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan
tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati,
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan yang lebih penting lagi
peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu
mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah
adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah.
Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya,
produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu
output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan
berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi
belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi
akademik, berupa nilai ulangan umum, EBTA, EBTANAS, karya
ilmiah, lomba akademik; dan (2) prestasi non-akademik, seperti
misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian,
keterampilan kejuruan, dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling
berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan.
B. Pola Baru Manajemen Pendidikan Masa Depan
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan
nasional dan digulirkannya otonomi daerah, telah mendorong
dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 9
menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih
bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Tabel 1 berikut
menunjukkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang
lama menuju yang baru.
Tabel 1
Dimensi-Dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
Pola Lama Menuju Pola Baru
Subordinasi ? ? Otonomi
Pengambilan keputusan
terpusat
? ? Pengambilan keputusan
partisipatif
Ruang gerak kaku ? ? Ruang gerak luwes
Pendekatan birokratik ? ? Pendekatan professional
Sentralistik ? ? Desentralistik
Diatur ? ? Motivasi diri
Overregulasi ? ? Deregulasi
Mengontrol ? ? Mempengaruhi
Mengarahkan ? ? Memfasilitasi
Menghindari resiko ? ? Mengelola resiko
Gunakan uang semuanya ? ? Gunakan uang seefisien
mungkin
Individual yang cerdas ? ? Teamwork yang cerdas
Informasi terpribadi ? ? Informasi terbagi
Pendelegasian ? ? Pemberdayaan
Organisasi herarkis ? ? Organisasi datar
Berikut dijelaskan secara singkat Tabel 1. Pada Pola Lama, tugas dan
fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil
inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu
yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah
memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya,
pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi
masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola
lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada
pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik,
10 Konsep dan Pelaksanaan
perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah dari pada
diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan
pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari
mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi
mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran
tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiencybased
budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke
semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan
struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien.
Pada dasarnya, MPMBS dijiwai oleh Pola Baru manajemen pendidikan
masa depan sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 1. Lebih rincinya,
konsep dasar dan karakteristik MPMBS dapat diuraikan sebagai
berikut.
C. Konsep Dasar MPMBS
Seperti ditulis pada BAB I butir B, MPMBS dapat didefinisikan
sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong
sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu
sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi
MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai
sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan
merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan
merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya,
kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas).
Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada,
swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah
adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga
sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 11
nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus
didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil
keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai
perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya,
kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan
berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif,
kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi
kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang
diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan
memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk
meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih
besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan
tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola,
memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini,
sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala
tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang
dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan
yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa,
karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung
dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan
mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang
bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya
untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat
partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki,
makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa
tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan
warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus
12 Konsep dan Pelaksanaan
mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya
dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan
keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi
pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam
program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap
dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan
mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh
hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan
masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah
merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas
sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya,
masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang
dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah
kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat
dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya
dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan
(kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan
sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu,
melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi
pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan
kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama
pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan
Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung
dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat
adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan
tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya);
bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang
kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol
yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya;
dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 13
sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki
ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab,
pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia
memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan
bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan
warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian
tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah
secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan
untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar,
ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian
penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang
efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan
warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang
memiliki martabat tertinggi.
D. Karakteristik MPMBS
MPMBS memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang
akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses
dalam menerapkan MPMBS, maka sejumlah karakteristik MPMBS
berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS tidak dapat
dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS
merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan
isinya. Oleh karena itu, karakteristik MPMBS berikut memuat secara
inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi
input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MPMBS, pendekatan sistem yaitu
input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari
oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem, sehingga
penguraian karakteristik MPMBS (yang juga karakteristik sekolah
efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya,
uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output
memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat
kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki
tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
14 Konsep dan Pelaksanaan
1. Output yang Diharapkan
Sekolah harus memiliki output yang diharapkan. Output sekolah
adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran
dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi
akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi nonakademik
(non-academic achievement). Output prestasi akademik
misalnya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa
Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/
divergen, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output
non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri,
kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi
terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan,
kerajinan, prestasi olahraga, kesenian, dan kepramukaan.
2. Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah
karakteristik proses sebagai berikut:
a. Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki efektivitas proses
belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat
PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik.
PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar
penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang
diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada
internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan
berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik
(pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar
mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to
do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan
belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
b. Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MPMBS, kepala sekolah
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 15
memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya
pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah
merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah
untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran
sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara
terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah
dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan
yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan
inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara
umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan
memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya
manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib,
dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat
berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu,
sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang
aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang
dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan
kepala sekolah sangat penting sekali.
d. Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
Tenaga Kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari
sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang
menerapkan MPMBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena
itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis
kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja,
hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan
garapan penting bagi seorang kepala sekolah.
Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini
harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat.
Pendeknya, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk
menyukseskan MPMBS adalah tenaga kependidikan yang
mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup
menjalankan tugasnya dengan baik.
16 Konsep dan Pelaksanaan
e. Sekolah Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah,
sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme.
Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a)
informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan
untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus
sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan
(rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi,
bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e)
warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f)
atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa
harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga
sekolah merasa memiliki sekolah.
f. Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan
Dinamis
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang
dituntut oleh MPMBS, karena output pendidikan merupakan
hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena
itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar
individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup
sehari-hari warga sekolah.
g. Sekolah Memiliki Kewenangan (Kemandirian)
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik
bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan
dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada
atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki
sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
h. Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik
bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan
bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa
makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki;
makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa
tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin
besar pula tingkat dedikasinya.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 17
i. Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah
merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS.
Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan
keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan
uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak
terkait sebagai alat kontrol.
j. Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan
pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi
semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan
musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah
peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya,
setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari
sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
k. Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara
Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk
mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik,
tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil
evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan
menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh
karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam
rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah
secara keseluruhan dan secara terus menerus.
Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan
warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem
mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada.
Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur
organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya
untuk menerapkan manajemen mutu.
l. Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi
yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu
18 Konsep dan Pelaksanaan
membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan
tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan
terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu
mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput
bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
m. Memiliki Komunikasi yang Baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang
baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolahmasyarakat,
sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini,
maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan
untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah dipatok.
Selain itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk
teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai
kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga
sekolah.
n. Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus
dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah
dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang
dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan
masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah
dapat menilai apakah program MPMBS telah mencapai tujuan
yang dikendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu
memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan,
sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan
kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program
tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran
sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak
memenuhi syarat.
Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat
dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat
meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan
kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka
orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan
dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 19
kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak
meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas
kegagalan program MPMBS yang telah dilakukan. Dengan cara
ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan
program pada tahun-tahun yang akan datang.
o. Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk enjaga
kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik alam program
maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat
dari keberlanjutan program-program ang telah dirintis
sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program
baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas
pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam
mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan
makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan
menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya
menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah
negeri.
3. Input Pendidikan
a. Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang
keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran sekolah yang
berkaitan dengan mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu
tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah. Kebijakan, tujuan, dan
sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga
sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan,
hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga
sekolah.
b. Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa
sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak
akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran
sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokkan
20 Konsep dan Pelaksanaan
menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya
selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dan
sebagainya) dengan penegasan bahwa sumberdaya selebihnya
tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah,
tanpa campur tangan sumberdaya manusia.
Secara umum, sekolah yang menerapkan MPMBS harus
memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk
menjalankan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya
yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus
tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa
sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang
bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya
yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan
kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang
ada disekitarnya.
c. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang ketersediaan
dan kesiapan sumberdaya manusia (staf), namun pada butir ini
perlu ditekankan lagi karena staf merupakan jiwa sekolah.
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang
mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap
sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin
efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten
dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
d. Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS mempunyai dorongan dan
harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik
dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan
motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara
optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi
bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat prestasi yang
maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan sumberdaya
pendidikan yang ada di sekolah. Sedang peserta didik juga
mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk
berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan
tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 21
yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu
menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
e. Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua
kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang
dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan
mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini
semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar
mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan
kepuasan yang diharapkan dari siswa.
f. Input Manajemen
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki input manajemen
yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala
sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya
menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan
kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah
mengelola sekolahnya dengan efektif. Input manajemen yang
dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan
sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan
rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai
panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya
sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk
meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.
E. Fungsi-Fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen
berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan
pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Fungsifungsi
apa sajakah yang perlu didesentralisasikan ke sekolah”? Pada
dasarnya, Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah
(Otonomi Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah Peraturan Pemerintah
(PP) sebagai pedoman pelaksanaannya terutama PP No. 25 tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah, Propinsi dan Kota/Kabupaten, harus
digunakan sebagai referensi/patokan. Dengan demikian,
pendesentralisasian fungsi-fungsi pendidikan tidak akan merubah
22 Konsep dan Pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, sampai
saat ini belum ada resep yang pasti tentang hal ini, karena seperti kita
ketahui, otonomi pendidikan sedang bergulir dan sedang mencari
formatnya, sehingga secara peraturan perundang-undangan (legal
aspect) belum dimiliki tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat
ini. Sementara menunggu “legal aspect” yang akan diberlakukan kelak,
fungsi-fungsi sekolah yang semula dikerjakan oleh Pemerintah
Pusat/Dinas Pendidikan Propinsi/Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten,
sebagian dari fungsi dapat dilakukan oleh sekolah secara professional.
Artinya, suatu fungsi tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya kesekolah,
sebagian masih merupakan porsi kewenangan Pemerintah Pusat,
sebagian porsi kewenangan Dinas Propinsi, sebagian porsi kewenangan
Dinas Kota/Kabupaten, dan sebagian porsi lainnya yang dilimpahkan
ke sekolah. Adapun fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat
digarap oleh sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1) proses
belajar mengajar, (2) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3)
pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan
peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan
siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan iklim
sekolah.
1. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah.
Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknikteknik
pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai
dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa,
karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di
sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan
pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered) lebih
mampu memberdayakan pembelajaran siswa. Yang dimaksud
dengan pembelajaran berpusat pada siswa adalah pembelajaran
yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada
keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu, cara-cara belajar siswa
aktif seperti misalnya active learning, cooperative learning, dan
quantum learning perlu diterapkan.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 23
2. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai
dengan kebutuhannya (school-based plan). Kebutuhan yang
dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah.
Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu
dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian
sekolah membuat rencana peningkatan mutu.
Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya
evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal
dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan
dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah
dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri.
Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat
mengungkap informasi yang sebenarnya.
3. Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum
standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada
umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam
implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam,
memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi
kurikulum yang berlaku secara nasional. Sekolah dibolehkan
memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh
dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga
dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya, apa yang
diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan
yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan
memodifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh
dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan
karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi
kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan local.
4. Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan,
24 Konsep dan Pelaksanaan
perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward
and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga
kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dsb.) dapat
dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut
pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang
sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
5. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah,
mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai
pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah
yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan,
kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang
sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar
mengajar.
6. Pengelolaan Keuangan.
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang
sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari
oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami
kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan
uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus
diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang
mendatangkan penghasilan” (income generating activities),
sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada
pemerintah.
7. Pelayanan Siswa.
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru,
pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk
melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga
sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang
sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah
peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah 25
8. Hubungan Sekolah-Masyarakat.
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan
keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari
masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti
yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah
didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan
adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolahmasyarakat.
9. Pengelolaan Iklim Sekolah.
Iklim sekolah (fisik dan nonfisik) yang kondusif-akademik
merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar
yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme
dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan
sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (studentcentered
activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat
menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah
merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah
upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
Secara visual, fungsi-fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Fungsi-Fungsi yang di Desentralisasikan ke Sekolah
Input
Proses Output
Perencanaan &
Evaluasi
Kurikulum
Ketenagaan
Fasilitas
Keuangan
Kesiswaan
Proses
Belajar
Mengajar
Prestasi
Siswa
Hubungan Sekolah-
Masyarakat
Iklim Sekolah
26 Konsep dan Pelaksanaan
F. Prakondisi MPMBS
Bagi sekolah yang akan menerapkan MPMBS perlu menyiapkan
persyaratan berikut. Persyaratan berikut bukan dimaksudkan untuk
menghambat sekolah yang tidak memenuhinya. Namun persyaratan
berikut lebih merupakan petunjuk penyiapan bagi sekolah-sekolah yang
akan menerapkan MPMBS. Jika suatu sekolah hanya memenuhi
sebagian persyaratan, maka sekolah tersebut tetap bisa menerapkan
MPMBS sambil melengkapi persyaratan berikut. Persyaratan berikut
bukan harga mati, akan tetapi lebih merupakan petunjuk yang masih
terbuka untuk dimodifikasi, dikurangi atau ditambah sesuai dengan
karakteristik sekolah dan masyarakat sekitarnya. Adapun persyaratanpersyaratan
yang dimaksud adalah:
1. Kapasitas kelembagaan yang memadai untuk menerapkan
MPMBS, seperti misalnya manajemen sekolah yang memadai,
kesiapan sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya
(dana, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb.)
2. Budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan MPMBS, yaitu
penghargaan terhadap perbedaan pendapat, menjunjung tinggi
hak asasi manusia, musyawarah-mufakat dapat dilaksanakan,
demokrasi pendidikan dapat ditumbuhkan, masyarakat dapat
disadarkan akan pentingnya pendidikan, dan masyarakat dapat
digerakkan untuk mendukung MPMBS.
3. Sekolah memiliki kemampuan membuat kebijakan, rencana,
dan program sekolah untuk menyelenggarakan MPMBS
4. Sekolah memiliki sistem untuk mempromosikan akuntabilitas
sekolah terhadap publik, sehingga sekolah akan merupakan
bagian dari masyarakat dan bukannya sekolah berada
dimasyarakat
5. Dukungan pemerintah pusat dan daerah yang ditunjukkan oleh
pemberian pengarahan dan pembimbingan, baik dalam bentuk
pedoman pelaksanaan, petunjuk pelaksanaan, dan lain-lain
yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan MPMBS

Tidak ada komentar: